MARATUN: PERS ADALAH PILAR KEEMPAT DEMOKRASI
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) Suara Demokrasi Fase F tahun 2024 SMAN 10 Semarang menghadirkan seorang jurnalis untuk menjadi pemateri seminar. Beliau adalah Maratun Nashihah dari Media Suara Merdeka Semarang.
Seminar yang dihelat pada Kamis, 31 Oktober 2024 di Masjid Rahmatan Lil Aalamiin mengambil tema Media dan Demokrasi. Dalam paparannya, Maratun menuturkan bahwa fungsi pers adalah sebagai pilar keempat dari demokrasi. Adapun tiga pilar lainnya yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Masih menurutnya bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Hal ini sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sedangkan kegiatan jurnalistik adalah mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik dengan menggunakan berbagai jenis saluran media yang tersedia.
Kondisi pers Indonesia memiliki sejarah media yang penuh dinamika. Pada masa Orde Baru, media dikontrol dengan ketat, sangat sesuai dengan prinsip teori otoriter. Setelah era reformasi tahun 1998, meskipun terjadi kemajuan, media Indonesia masih menghadapi tantangan besar seperti intervensi politik, tekanan ekonomi, serta konsentrasi kepemilikan media.
Di sisi lain disrupsi digital menjadi tantangan baru yang harus dihadapi. Kini, media harus bersaing dengan banjirnya informasi melalui media sosial, yang masuk ke kantong kantong para pengguna gawai. Setelah internet ditemukan, terjadi pergeseran media lama ke media baru. Media baru mampu memberikan informasi yang berlimpah dan kemampuan akses yang lebih cepat. Kecepatan yang menyertai teknologi baru ini meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Pengelola media pada akhirnya tak jarang lebih mengutamakan masalah keterbacaan dan jumlah klik. Mereka memilih judul yang bombastis ketimbang substansi yang jelas sehingga publik diberikan informasi yang tidak tepat, cenderung salah, dan bisa berakhir pada keterbelahan.
Pengguna media sosial juga tidak dibekali dengan cara berpikir kritis untuk memahami fenomena dan substansi yang berkembang. Akhirnya, kalaupun warganet ramai berkomentar, komentar mereka bukan pada substansinya, melainkan lebih pada tampilan luar. Hasilnya adalah komentar kosong, asal bunyi, dan tidak jarang berupa caci maki.
Yang menjadi masalah adalah berita yang disajikan media yang dikenal memiliki disiplin verifikasi ketat, justru tidak jarang dicap sebagai berita bohong, fake news, karena dianggap menyerang penguasa. Selain itu, peraturan perundangan yang seharusnya melindungi kerja jurnalis berbalik menjadi ancaman.
Jika para jurnalis, para pengirim pesan dan media, atau lebih luas para aktivis prodemokrasi, dikriminalisasi karena bersikap kritis, mimpi mencapai sebuah negara demokrasi dan berkeadilan sosial lenyap dalam seketika.
Beliau juga mengutip pernyataan dari Ketua Komite Nobel Norwegia, Beritt Reis Andersen.yang menyatakan kebebasan pers, kebebasan berekspresi adalah syarat mutlak sebuah masyarakat yang demokratis. Tidak ada masyarakat yang demokratis tanpa kebebasan berekspresi. (AA)
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini