Lelaki Tua Di Pertigaan
Hari ini aku berangkat kerja pagi-pagi. Matahari masih tertahan di balik rumpun bambu kampung sebelah. Remang-remang perlahan menjadi terang. Semburat kemerahan di kaki langit sisi timur mulai mengusir sisa gelap tadi malam.
Kupakai jaket hitam yang mulai berubah warnanya menjadi coklat. Ternyata ritsletingnya rusak. Kubiarkan saja jaket terbuka bagian depan. Setidaknya masih bisa menangkal dinginnya udara pagi maupun panasnya siang batinku. Helm butut yang tergantung di sisi motor segera berpindah ke kepala.
Tak berselang lama motorku telah menapaki jalanan kampung. Walau beraspal tetapi sudah mengelupas di sana-sini. Masih sepi. Baru satu dua kendaraan aku berpapasan. Tak satupun yang kulewati menarik perhatian. Sampai pada sebuah pertigaan pojok kampungku.
Mataku tertuju pada sesosok lelaki tua yang duduk di tepian talut sisi kanan jalan. Lelaki tua duduk sendirian sepagi ini. Di sampingnya tersandar sepeda dengan dua keranjang besar pada boncengannya. Sepeda tua yang mungkin umurnya setua dirinya. Karat tampak memenuhi seluruh bagiannya. Di keranjangnya ada beberapa lembar kardus bekas. Mungkin lelaki tua itu seorang pemulung.
Kupelankan laju motor. Membelok ke kiri berganti melalui di jalan berpaving. Pikiranku masih dipenuhi dengan sosok lelaki tua di pertigaan pojok kampung tadi. Jika lelaki itu seorang pemulung, kenapa hanya duduk saja. Sedangkan di sisi kanan jalan berpaving dekat lelaki itu duduk, berserakan beberapa kardus bekas dan botol air mineral. Bercampur dengan sampah rumah tangga yang mulai menyengat. Sementara di sebelah barat datang seorang bergerobak dengan mata berbinar. Senyumnya juga tampak lebar mendapati lembaran kardus bekas dan botol air mineral berserakan.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benakku tak menemukan jawaban yang pas. Akhirnya kubuang bayangan lelaki tua yang duduk di pojok pertigaan dengan sepeda penuh karat. Kupercepat laju motorku. Seperangkat pelantang suara untuk senam bersama harus sudah siap sebelum yang lain datang.
***
Pagi ini hari keempat beliau di situ. Beberapa hari ini kudapati lelaki tua itu duduk di tempat pertama aku melihatnya. Sebelum berangkat tadi kumeminta istriku untuk membungkuskan beras dan beberapa mie instan. Wajah istriku dipenuhi rasa heran.
”Untuk siapa?” tanyanya singkat sambil memasukkan permintaanku ke plastik kresek.
“Lelaki tua di pertigaan pojok kampung,” jawabku singkat untuk mengusir rasa herannya. Aku masih melanjutkan mengambil nasi dari penanaknya.
“Aku juga melihatnya beberapa hari ini,” sahut istriku. “Lelaki tua dengan sepeda berkeranjang. Kasihan beliau. Setua itu masih berjuang untuk mencari makan. Ke mana anak-anaknya?” lanjutnya.
“Sudahlah. Jangan dilanjutkan!” larangku. Kularang istriku melanjutkan omongannya. Nanti malah tidak ada titiknya.
Matahari tidak segan lagi melontarkan sinarnya. Sorotnya mulai menghangat ketika aku menyusuri jalan beraspal yang sudah berlubang di beberapa tempat. Dari jauh sudah kulihat lelaki tua dengan keranjangnya. Sesampainya di pertigaan pojok kampung kuinjak rem. Turun dan memberikan bungkusan yang sudah disiapkan istriku kepada lelaki itu.
“Mbah,” sapaku singkat. “Ini ada sedikit rejeki untuk Mbah,” lanjutku.
“Matur nuwun sanget nggih, Mas. Kula dongake Panjenengan tansah sehat lan lancar rejeki,” jawab dan doanya kepadaku.
“Aamiin. Sama-sama, Mbah,” jawabku.
Motorku sudah menderu lagi di jalan berpaving. Sisi kanannya berserak tumpukan sampah yang membusuk. Asap pembakaran menyusup ke dalam rongga hidung dan menutup pandangan. Lajunya kupercepat.
Timbul tenggelam bayangan lelaki tua itu hadir di benakku. Mengapa sepagi ini sudah duduk di pertigaan pojok kampung. Di temani sepeda tua yang berkeranjang besar pada boncengannya.
Selain bungkusan plastik yang kuberikan tadi, ada juga beberapa bungkusan plastik lainnya. Ada plastik yang berisi nasi bungkus, mie instan, dan biskuit.
“Siapa sejatinya lelaki tua di pertigaan pojok kampungku? Ah entahlah,” gumamku. Tak perlu aku tahu identitas lelaki itu.
***
Jamaah subuh barusan bubar dari musola. Mbok Sarmi, pedagang sayur keliling datang tergopoh. Ia berlari sambil menunjuk-nunjuk ke utara.
“A a a ada oo orang men meninggal di pertigaan,” Mbok Sarmi mengabarkan dengan terbata.
“Siapa yang meninggal, Mbok?” tanya seorang jamaah.
“Tidak tahu, “ jawabnya singkat sambil mengatur napasnya yang tersengal.
Bapak-bapak jamaah subuh bergegas ke arah yang ditunjuk Mbok Sarmi. Sampai di pertigaan Pak RT sudah ada di situ. Sedang menelepon polsek. Pak RT melarang warga untuk menyentuh jasadnya. Menunggu petugas kepolisian datang.
Sambil menunggu polisi datang, aku mendekat ke jasad yang tergeletak di pertigaan pojok kampung. Kuamati dengan seksama.
“Ya Allah. Kakek,” teriakku.
Setelah itu kuucapkan kalimat tarji’, “Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Semoga husnul khotimah ya Kek.”
Lalu aku mundur. Walau bukan bagian dari keluargaku, aku tetap bersedih. Lelaki tua yang duduk di pertigaan pojok kampung kini telah tiada. Aku belum sempat bertanya di mana tinggalnya.
Biarlah tetap tak kuketahui asal rimbanya. Biarlah masih menjadi rahasia. Biarlah nanti petugas kepolisian yang mengusutnya. Saat ini yang terpenting beliau sudah tenang di sana. Selamat jalan lelaki tua di pertigaan pojok kampung yang beberapa hari ini masuk ke ruang hidupku.
Oleh Abdul Azis
Di pojok kampung pinggiran Kota Semarang
2 Oktober 2021
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini