Guzheng
short Horror Story by : Paulina Amy 12 MIPA 1
Akhirnya. Udara segar pedesaan. Untuk kesekian kalinya aku kembali ke rumah ini, rumah nenekku. Setiap liburan sekolah dimulai, ayah dan ibuku memgantarku kemari, lalu menjemputku satu minggu kemudian. Aku suka rumah ini, rumah adat Tiongkok yang unsur budayanya masih kental. Lukisan-lukisan, pajangan-pajangan, serta guci-guci besar khas negeri tirai bambu bertebaran di sana sini, di pojok-pojok ruangan.
Ada benda asing yang belum pernah kulihat sebelumnya, guzheng, sebuah kecapi khas Tiongkok yang dipajang di ruang tengah. Aku bertanya kepada nenek, “Guzheng milik siapa nek? Kenapa tiba-tiba dipajang di sini?”. “Milik kakakku waktu dia masih muda dulu, kubawa dari rumahnya daripada tidak ada yang merawat.”
Kakak dari nenekku baru saja meninggal satu bulan yang lalu, jadi rumahnya kosong. Kemudian bulan ini aku kembali kesini lagi untuk berlibur
Kupotret guzheng antik itu untuk keperluan instastory. “Luar biasa,” batinku. Aku terpana dengan ukirannya yang indah. “DOR!!” aku terkejut bukan main. Ternyata Ying, sepupuku yang tinggal selisih dua komplek dengan nenekku. “Kenapa kau memotret kecapi tua itu? Itu berhantu,” ujarnya. “Hus, jangan begitu,” sahutku. “Aku sungguhan, kecapi itu sering berbunyi sendiri ketika malam hari,” jawab Ying. “Jaga mulutmu, aku takut,” kataku kesal. “Cih, penakut,” ejek Ying.
Malamnya, aku tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar Ying. Kedua kamar kami berada di depan ruang tengah. Aku lelah setelah menempuh perjalanan dari kotaku ke desa ini seharian, jadi aku langsung tidur setelah makan malam bersama Ying. Tiba-tiba, aku terbangun pukul dua pagi dan mendengar suara kecapi. Oh Tuhan, apa-apaan ini. Bulu romaku berdiri. Tetapi rasa takutku terkalahkan oleh rasa penasaran. Aku berjinjit ke pintu dan mengintip siapa yang memainkan kecapi tua itu. Mataku membelalak, ada seorang wanita berambut sebahu yang sedang memainkan kecapi itu memunggungiku. “DUERRRR!” suara petir menyambar, aku terbangun. Astaga, aku bersyukur itu cuma mimpi karena aku sudah ketakutan setengah mati.
Aku keluar untuk mengambil air mineral. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, jadi aku memutuskan kembali ke kamar untuk tidur lagi. Ketika hendak kembali ke kamar, aku kembali mendengar suara kecapi tua itu dimainkan. Aku mematung, keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku. Tetapi aku memberanikan diri untuk tetap kembali ke kamar. Benar saja, ketika sudah mendekati ruang tengah, ada seorang perempuan berambut sebahu sedang memainkan kecapi tua itu. Aku putus asa. Ingin menghilang sekejap dari dunia rasanya. Oh Tuhan, apakah ini mimpi lagi? Kucubit lenganku untuk memastikan ini mimpi atau bukan. Sakit. Ternyata ini bukan mimpi. Tanpa pikir panjang aku langsung menyalakan lampu ruang tengah supaya hantu itu menghilang. Ketika kunyalakan lampunya, aku terkejut bukan kepalang. “Ying?? Sedang apa kau di sini?? Kenapa kau mainkan kecapi ini malam malam?? Aku hampir mati ketakutan, kukira kau hantu,” ucapku jengkel. “Hahahahahahha, kau konyol sekali. Aku hanya mencoba memainkan ini, tadi aku terbangun karena ingin kencing. Jen, aku berbohong soal cerita bodoh itu, kecapi ini tidak berhantu, hahahahah kau konyol,” ejek Ying sambil kembali ke kamarnya untuk tidur lagi. Aku pun kembali ke kamar dengan perasaan kesal.
Esok paginya saat aku, Ying, dan nenek sedang menyantap sarapan, aku mengadu pada nenek karena semalam Ying menakutiku dengan memainkan kecapi tua yang ada di ruang tengah itu. Ying berhenti menyantap rotinya. “Apa maksudmu Jen? Kau sedang mimpi?” ucap Ying. “Jangan berbohong, aku mudah kesal di pagi hari,” jawabku kesal. “Jen aku serius, aku tidur semalaman,” Ying membela diri. “Hey, semalam kau mencoba untuk memainkan kecapi tua itu karena terbangun ingin kencing, kau menakutiku,” aku semakin kesal. Ying mulai berbicara dengan nada tinggi, “Jen! Aku sama sekali tidak terbangun. Lagipula, aku tidak bisa memainkan kecapi, kau bisa tanya nenek kalau tidak percaya.”
Aku mematung. Jelas-jelas semalam itu bukan mimpi. Itu nyata. Lagipula, tadi malam kucubit lenganku untuk memastikan itu mimpi atau bukan. Sungguh, jelas-jelas bukan mimpi. Nenek memelukku dan Ying menatapku dengan khawatir. Aku merinding. Kalau bukan Ying, lalu siapa yang kuajak bicara tadi malam?
Tiba-tiba aku ingin pulang.
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini